Kamis, 18 September 2014

Suara Rakyat Suara Tuhan



Berikut adalah sebuah karangan yang pernah dimuat di Surat kabar harian Suara Merdeka yang ditulis oleh salah satu kerabat saya bernama Bp. Budhi Wisaksono, SH, MH.


SISI LAIN VOX POPULI VOX DEI

              Ungkapan “Vox populi, vox Dei” kembali populer pada masa pemilihan presiden Tahun 2014 ini. Maxim yang muncul di Jaman Yunani Kuno tetapi tidak diketahui siapa pencetus awalnya ini, pernah populer pada Abad VIII di Perancis dan Abad XIV di Inggris. Penggunaan ungkapan atau semboyan tersebut sangat diwarnai oleh pandangan politik para pemakainya. Arti harfiahnya memang “Suara Tuhan, (adalah) suara rakyat”. Pada Abad VIII seorang guru dari York bernama Alcuin menasihati Kaisar Charlemagne agar menentang gagasan denokratis yang terkandung dalam maxim tersebut, yang dianggapnya berbahaya. Sementara itu di Inggris, Archbishop of Canterbury pada Abad XIV sempat memakainya untuk melawan Raja Edward II.
              Sesungguhnya penggunaan maxim tersebut pada dewasa ini, untuk menunjukkan bahwa  suara rakyat – dalam kalkulasi terbanyak – merupakan suara dari Tuhan; meskipun pada tataran penerapannya banyak diartikan secara berbeda. Yang jelas ungkapan ini mengandung maksud bahwa suara orang banyak itu tidaklah dapat dibendung.; dan itu bisa tidak berhubungan sama sekali dengan masalah apakah suara itu bijak atau pun baik. Dewasa ini penggunaannya lebih dimaksudkan untuk meyakinkan orang – baca: lawan politiknya – bahwa pilihan rakyat banyak itu adalah pilihan yang terbaik; sebab tidak lain merupakan pilihan Tuhan juga. Padahal belum tentu pilihan Tuhan tersebut akan membahagiakan, sebab sangat tergantung dari perbuatan mereka.
              Lepas dari argumentasi di atas, sebenarnya dengan mengamini ungkapan tersebut dalam konteks pilpres 2014 ini, pada ghalibnya orang telah menerima penjelasan tentang segala sesuatu berdasarkan cara pendekatan spiritistik atau demonologik; dan bukannya cara pendekatan naturalistik. Kedua cara pendekatan yang dikenal di dunia keilmuan ini dari dahulu sampai sekarang masih saja digunakan untuk menjelaskan tentang segala sesuatu yang dihadapi manusia. Cara pendekatan spiritistik ini berbeda dengan pendekatan naturalistik yang diakui sebagian besar ilmuwan sebagai pendekatan keilmuan sejati; yakni pendekatan yang mendasarkan pada apa yang tergelar di alam semesta ini dan dapat ditangkap dengan panca indera manusia; dengan demikian penjelasannya berada pada apa yang diketahui atau dianggap benar menurut fakta fisik atau empirik dan dunia kebendaan. Melalui pendekatan naturalistik para ilmuwan berusaha menemukan, menelaah, menjelaskan, bahkan meramalkan segala sesuatu di jagad ini. Berbeda  dengan itu, maka pendekatan pertama lebih menyandarkan pada hal-hal yang bersifat ghaib dan diluar jangkauan akal manusia karena berdasarkan pada adanya “kekuasaan lain” atau spirit (roh); yang memiliki ciri utama, yakni melampaui dunia empirik dan tidak terikat pada batasan kebendaan atau fisik. Selain itu beroperasi dengan cara-cara yang bukan menjadi subyek dari kontrol atau pengetahuan manusia yang sifatnya terbatas.
              Meskipun pada awalnya dan sampai saat ini pun banyak cendekiawan modern menganggap bahwa pendekatan yang seyogyanya diterima dan sahih untuk menghasilkan kebenaran ilmiah adalah pendekatan naturalistik, namun dewasa ini para ilmuwan – bahkan fisikawan – enggan menyatakan bahwa pendekatan spiritistik bisa dikesampingkan untuk menjelaskan segala sesuatu di alam fana ini dengan benar. Sementara itu beberapa fisikawan ulung justru sempat menyatakan bahwa masih ada para ilmuwan angkuh yang hanya memegang erat pendekatan naturalistik sebagai senjatanya, yang pada ghalibnya malah menunjukkan bahwa mereka belum mampu menggapai atau memahami apa yang sesungguhnya berlaku di dalam pendekatan spiritistik atau demonologik ini. Bagaimanapun pendekatan pertama ini tidak dapat dinafikan begitu saja, jika mampu memberikan penjelasan yang dapat diterima sebagai suatu kebenaran hakiki kepada manusia, tentang berbagai hal yang dihadapi didalam hidupnya. Meskipun para pemakainya dalam kegiatan ilmiahnya nanti tidak perlu memakai landasan ontologi, epistemologi, maupun aksiologi secara lengkap seperti yang dilalui yang memakai pendekatan naturalistik.
Terlepas pro dan kontra tentang kedua pendekatan ini, namun pada kenyataannya kedua cara pendekatan ini tetap saja digunakan manusia sampai jaman modern ini. Keduanya mampu mendudukkan manusia  dalam tingkat budaya pada jamannya.
Memakai pendekatan pertama, maka manusia dapat menerima bahwa selain Tuhan mampu memastikan kebahagiaan mereka, maka mereka juga dapat menerima bahwa Tuhan juga bisa memastikan kesengsaraannya berdasarkan amal perbuatannya yang ditengarai sebagai dosa.
              Sudah berabad-abad kehidupan manusia dihiasi berbagai cerita tentang kejayaan seseorang atau bangsa, seperti misalnya: dengan terbangunnya Taj Mahal di India, Borobudur di Indonesia, terbikinnya pesawat tanpa awak oleh AS, majunya teknologi informasi dan sebagainya. Namun perihal yang menyenangkan dan membanggakan itu semua disertai pula dengan  berbagai nestapa yang harus diderita manusia. Hancur dan terbelahnya Jerman menyusul jatuhnya Hitler, porak porandanya Irak paska tumbangnya Saddam Hussein, Topan Haiyan yang melanda Filipina dan menelan ribuan korban jiwa, bencana alam yang selalu menimpa Indonesia, dan yang terakhir jatuhnya pesawat MAS MH 17 di Ukraina, merupakan sedikit contoh peristiwa yang membawa penderitaan manusia. Penderitaan sebagai akibat perbuatan yang dapat dinilai salah di mata Tuhan. Yang pasti keadilan Tuhan akan berlaku, baik bagi yang mematuhi maupun yang mengingkariNya. Keadilan Tuhan justru memaklumkan bahwa setiap perbuatan manusia akan mendapatkan imbalan yang setimpal; bisa berupa anugerah maupun hukuman. Memang maklumat seperti itu terkadang dirasakan manusia - yang terbatas pengetahuannya - sebagai  hal yang tidak adil dan kejam. Namun bagi siapapun yang taat azas memakai cara pendekatan demonologik dalam konteks ini akan dapat dengan serta merta menerima kebenarannya.
              Kembali kepada maxim “vox populi vox dei” yang menjadi pokok bahasan kali ini dan yang tidak perlu diperpanjang lagi soal pilihan makna yang digunakan di sini, maka yang lebih penting harus dipikirkan yaitu, apakah Bangsa Indonesia ini merupakan bangsa yang penuh kesalahan di mata Tuhan. Apabila jawabannya ya, maka apapun pilihan mereka, kemungkinan yang tidak menyenangkan bahkan yang menyengsarakan akan mereka peroleh; sebab keniscayaan dari Tuhan itu tak dapat dihindari.
Dengan demikian setelah pemilihan presiden dan siapapun yang terpilih, Bangsa Indonesia harus yakin kalau mereka bukan terdiri dari manusia yang bersalah. Kalau realita yang ada justru sebaliknya, maka hanya satu usaha yang dapat ditempuh agar hasil pemilihan presiden kali ini bisa membawa kebahagiaan bagi mereka dan bukan malah menderitakannya. Yakni dengan mohon ampun atas segala dosanya agar tidak mendapatkan hukuman yang menyengsarakan hidupnya. Sebab, siapa yang dapat melawan The Power of God ini.


Biodata Penulis:
Budhi Wisaksono Soedarto, SH, MH.
Ketua Pusat Studi Kepolisian AKPOL Semarang
Saat ini mengajar di Fakultas Hukum UNDIP Semarang

M4 Carbine - Senjata ringan yang mematikan

Senjata M4 Carbine standar

Senjata serbu Colt M4 ini merupakan senjata serbu buatan Amerika Serikat, yang dibuat oleh pabrikan Colt's Manufacturing Company yang bermarkas di Hartfort, Connecticut, Amerika Serikat.

Senjata M4 ini sebenarnya adalah modifikasi dari senjata M16 yang dipakai Amerika sejak tahun 1962, dan mulai terkenal pada saat Amerika berperang di perang Vietnam.

Senjata M4 ini berukuran panjang 33 inchi apabila popor di keluarkan dan 29,7 inchi apabila popor dimasukkan. Lebih pendek dari pendahulunya M16 yang panjangnya mencapai 39,5 inchi (popor standar M16 tidak bisa diatur panjangnya)

popor standar M4


Senjata ini juga dipakai di Indonesia. Saat ini salah satu kesatuan yang menggunakan senjata ini adalah Detasemen Khusus 88 Anti Teror (Densus-88) POLRI.

Pasukan Densus-88 menggunakan senjata M4 yang sudah di beri attachment berupa sight, senter, dan grip.