Berikut adalah sebuah karangan yang pernah dimuat di Surat kabar harian Suara Merdeka yang ditulis oleh salah satu kerabat saya bernama Bp. Budhi Wisaksono, SH, MH.
SISI LAIN VOX POPULI VOX DEI
Ungkapan “Vox populi, vox Dei” kembali populer
pada masa pemilihan presiden Tahun 2014 ini. Maxim yang muncul di Jaman Yunani Kuno tetapi tidak diketahui siapa
pencetus awalnya ini, pernah populer pada Abad VIII di Perancis dan Abad XIV di
Inggris. Penggunaan ungkapan atau semboyan tersebut sangat diwarnai oleh pandangan
politik para pemakainya. Arti harfiahnya memang “Suara Tuhan, (adalah) suara
rakyat”. Pada Abad VIII seorang guru dari York bernama Alcuin menasihati Kaisar
Charlemagne agar menentang gagasan denokratis yang terkandung dalam maxim tersebut, yang dianggapnya
berbahaya. Sementara itu di Inggris, Archbishop of Canterbury pada Abad XIV
sempat memakainya untuk melawan Raja Edward II.
Sesungguhnya penggunaan maxim tersebut pada dewasa ini, untuk
menunjukkan bahwa suara rakyat – dalam
kalkulasi terbanyak – merupakan suara dari Tuhan; meskipun pada tataran
penerapannya banyak diartikan secara berbeda. Yang jelas ungkapan ini
mengandung maksud bahwa suara orang banyak itu tidaklah dapat dibendung.; dan
itu bisa tidak berhubungan sama sekali dengan masalah apakah suara itu bijak
atau pun baik. Dewasa ini penggunaannya lebih dimaksudkan untuk meyakinkan
orang – baca: lawan politiknya – bahwa pilihan rakyat banyak itu adalah pilihan
yang terbaik; sebab tidak lain merupakan pilihan Tuhan juga. Padahal belum
tentu pilihan Tuhan tersebut akan membahagiakan, sebab sangat tergantung dari
perbuatan mereka.
Lepas dari argumentasi di atas,
sebenarnya dengan mengamini ungkapan tersebut dalam konteks pilpres 2014 ini,
pada ghalibnya orang telah menerima penjelasan tentang segala sesuatu
berdasarkan cara pendekatan spiritistik atau demonologik; dan bukannya cara
pendekatan naturalistik. Kedua cara pendekatan yang dikenal di dunia keilmuan
ini dari dahulu sampai sekarang masih saja digunakan untuk menjelaskan tentang
segala sesuatu yang dihadapi manusia. Cara pendekatan spiritistik ini berbeda
dengan pendekatan naturalistik yang diakui sebagian besar ilmuwan sebagai pendekatan
keilmuan sejati; yakni pendekatan yang mendasarkan pada apa yang tergelar di alam
semesta ini dan dapat ditangkap dengan panca indera manusia; dengan demikian
penjelasannya berada pada apa yang diketahui atau dianggap benar menurut fakta
fisik atau empirik dan dunia kebendaan. Melalui pendekatan naturalistik para
ilmuwan berusaha menemukan, menelaah, menjelaskan, bahkan meramalkan segala
sesuatu di jagad ini. Berbeda dengan
itu, maka pendekatan pertama lebih menyandarkan pada hal-hal yang bersifat
ghaib dan diluar jangkauan akal manusia karena berdasarkan pada adanya
“kekuasaan lain” atau spirit (roh); yang memiliki ciri utama, yakni melampaui
dunia empirik dan tidak terikat pada batasan kebendaan atau fisik. Selain itu
beroperasi dengan cara-cara yang bukan menjadi subyek dari kontrol atau
pengetahuan manusia yang sifatnya terbatas.
Meskipun pada awalnya dan sampai
saat ini pun banyak cendekiawan modern menganggap bahwa pendekatan yang
seyogyanya diterima dan sahih untuk menghasilkan kebenaran ilmiah adalah
pendekatan naturalistik, namun dewasa ini para ilmuwan – bahkan fisikawan –
enggan menyatakan bahwa pendekatan spiritistik bisa dikesampingkan untuk
menjelaskan segala sesuatu di alam fana ini dengan benar. Sementara itu
beberapa fisikawan ulung justru sempat menyatakan bahwa masih ada para ilmuwan
angkuh yang hanya memegang erat pendekatan naturalistik sebagai senjatanya,
yang pada ghalibnya malah menunjukkan bahwa mereka belum mampu menggapai atau memahami
apa yang sesungguhnya berlaku di dalam pendekatan spiritistik atau demonologik
ini. Bagaimanapun pendekatan pertama ini tidak dapat dinafikan begitu saja, jika
mampu memberikan penjelasan yang dapat diterima sebagai suatu kebenaran hakiki kepada
manusia, tentang berbagai hal yang dihadapi didalam hidupnya. Meskipun para
pemakainya dalam kegiatan ilmiahnya nanti tidak perlu memakai landasan
ontologi, epistemologi, maupun aksiologi secara lengkap seperti yang dilalui yang
memakai pendekatan naturalistik.
Terlepas
pro dan kontra tentang kedua pendekatan ini, namun pada kenyataannya kedua cara
pendekatan ini tetap saja digunakan manusia sampai jaman modern ini. Keduanya mampu
mendudukkan manusia dalam tingkat budaya
pada jamannya.
Memakai
pendekatan pertama, maka manusia dapat menerima bahwa selain Tuhan mampu
memastikan kebahagiaan mereka, maka mereka juga dapat menerima bahwa Tuhan juga
bisa memastikan kesengsaraannya berdasarkan amal perbuatannya yang ditengarai
sebagai dosa.
Sudah berabad-abad kehidupan
manusia dihiasi berbagai cerita tentang kejayaan seseorang atau bangsa, seperti
misalnya: dengan terbangunnya Taj Mahal di India, Borobudur di Indonesia,
terbikinnya pesawat tanpa awak oleh AS, majunya teknologi informasi dan
sebagainya. Namun perihal yang menyenangkan dan membanggakan itu semua disertai
pula dengan berbagai nestapa yang harus
diderita manusia. Hancur dan terbelahnya Jerman menyusul jatuhnya Hitler, porak
porandanya Irak paska tumbangnya Saddam Hussein, Topan Haiyan yang melanda
Filipina dan menelan ribuan korban jiwa, bencana alam yang selalu menimpa
Indonesia, dan yang terakhir jatuhnya pesawat MAS MH 17 di Ukraina, merupakan
sedikit contoh peristiwa yang membawa penderitaan manusia. Penderitaan sebagai
akibat perbuatan yang dapat dinilai salah di mata Tuhan. Yang pasti keadilan
Tuhan akan berlaku, baik bagi yang mematuhi maupun yang mengingkariNya. Keadilan
Tuhan justru memaklumkan bahwa setiap perbuatan manusia akan mendapatkan imbalan
yang setimpal; bisa berupa anugerah maupun hukuman. Memang maklumat seperti itu
terkadang dirasakan manusia - yang terbatas pengetahuannya - sebagai hal yang tidak adil dan kejam. Namun bagi
siapapun yang taat azas memakai cara pendekatan demonologik dalam konteks ini
akan dapat dengan serta merta menerima kebenarannya.
Kembali kepada maxim “vox populi vox dei” yang menjadi
pokok bahasan kali ini dan yang tidak perlu diperpanjang lagi soal pilihan
makna yang digunakan di sini, maka yang lebih penting harus dipikirkan yaitu,
apakah Bangsa Indonesia ini merupakan bangsa yang penuh kesalahan di mata
Tuhan. Apabila jawabannya ya, maka apapun pilihan mereka, kemungkinan yang
tidak menyenangkan bahkan yang menyengsarakan akan mereka peroleh; sebab
keniscayaan dari Tuhan itu tak dapat dihindari.
Dengan
demikian setelah pemilihan presiden dan siapapun yang terpilih, Bangsa
Indonesia harus yakin kalau mereka bukan terdiri dari manusia yang bersalah.
Kalau realita yang ada justru sebaliknya, maka hanya satu usaha yang dapat
ditempuh agar hasil pemilihan presiden kali ini bisa membawa kebahagiaan bagi mereka
dan bukan malah menderitakannya. Yakni dengan mohon ampun atas segala dosanya
agar tidak mendapatkan hukuman yang menyengsarakan hidupnya. Sebab, siapa yang
dapat melawan The Power of God ini.
Biodata Penulis:
Budhi Wisaksono Soedarto, SH, MH.
Ketua Pusat Studi Kepolisian AKPOL Semarang
Saat ini mengajar di Fakultas Hukum UNDIP Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar